Rabu, 12 September 2012

Sajak; Kematian seorang Haji

Haji... itulah gelarmu 
Dengan penuh kesombongan kau gunakan gelar itu 
Dengan penuh keangkuhan, kau bawa ia ke mana saja.

Haji... itulah gelarmu 
 Yang terpampang di KT P
Yang terpampang di depan rumah 
Yang terpampang di rekening bank
 Yang terpampang di dalam daftar orang tua siswa di sekolah
 Dan yang harus ditanamkan di dalam hati masyarakat bawah 

Haji...
Itulah gelarmu 
 Entah dari mana kau dapatkan gelar itu 
 Rasanya Tuhan tak memanggil namamu dengan sebutan Haji di depan namamu. 

 Kau begitu sumringah 
 Tatkala masyarakat menyebut namamu dengan sebutan Haj i"Haji anu.... oohhh haji anu..." Sambil terbungkuk-bungkuk ia menunduk menghormat lewat di depanmu.

 Haji.... itulah gelarmu 
Entah dari mana kau dapatkan gelar itu. 
 Kau marah bukan kepalang 
Ketika seorang menyebut namamu disertai dengan gelar 
Kau cemberut, tersinggung, geram seolah-olah orang salah menyebut namamu 

 Haji.... Itulah gelarmu 
Yang telah terlupa oleh orang itu Entah dia tidak tahu atau memang sengaja pura-pura tidak tahu 
 Kau memarahi orang-orang 
Tatkala mereka salah menuliskan namamu pada sebuah undangan karena tak ada gelar hajinya Sembari kau maki mereka"Hai anak manusia, tahukah kamu berapa banyak dan berapa besar pengorbananku demi mendapatkan gelar itu. Bahkan hanya orang- orang terpilih sajalah yang berhak mendapatkan gelar itu. Mengapa kalian hilangkan? Mengapa kalian buang? Berapa banyak biaya yang kukeluarkan demi gelar itu? Berapa besar tenaga dan pikiran demi memperoleh gelar itu? Dan berapa jauh jarak yang kutempuh demi gelar itu?"
 Mereka pun akhirnya membisu, dan merasa bersalah atas semua itu 

Haji.... itulah gelarmu 
Entah dari mana kau dapatkan gelar itu 
Rasanya Tuhan jika memanggil namamu tidak menyebutkan gelarmu itu
Dan hingga suatu saat 
Saat Ijra'il menjemput ruhmuKau tak mampu berbuat sesuatu

Ingin kau tolak kehadirannya
Namun, kau tak mampu
Cengkeram tangannya begitu kuat
Hingga merenggut nyawamu

 Kau tinggalkan dunia dengan namamu
Gelarmu hanya hiasan dunia
Kesombonganmu tak menjadi apa-apa danTak kau bawa ke alam sana bersama kain kafanmu



Kini kau sendiri di dalam sana
Terhimpit tanah yang menjadi tempat persemayamanmu
Kesombongan dan keangkuhan tak dapat membantu membesarkan ruang
tidurmu
Gelar "Haji"mu tak mampu menerangi gelap kamarmu



Kau kini kesunyian
Semua orang yang mengantarkanmu telah pulang ke rumahnya
Tangisan berakhir di kala tanah menutup tubuhmu
Yang teronggok sendiri berselimut kain kafan putih yang kini bernoda cokelatnya tanah


Hingga waktunya tiba
Datanglah dua malaikat yang menanyakan perihal hidupmu
Dan dia tanyakan namamuDengan kesombongan kau masih saja sebutkan gelarmu



Kemudian malaikat itupun bertanya lagi
"Hai manusia, dari mana kau dapatkan gelar haji itu. Sementara
yang kutahu Tuhan tak menyebut gelarmu ketika dia mengutusku
untuk mendatangimu?"


Dengan tenang kau bersuara
Sepertinya kau sudah sering menghadapi situasi seperti ini saat
di duniaSeperti seorang koruptor yang mampu berkelit menjawab pertanyaan
jaksa.



 "Wahai malaikat, aku mendpatkan gelar ini atas jerih payahku.
Aku mengumpulkan uang demi gelar ini. Rupiah demi rupiah aku
tabung, entah bagaimana caranya aku tak mau tahu. Yang jelas aku
harus bisa menggunakan gelar ini. Wajarlah kalau begitu hai
Malaikat, jika aku menggunakannya."



"Walau cara yang kau gunakakan adalah cara yang haram?"
 "Ya, harus bagaimana lagi. Gelar "Haji" adalah trend dan mode
yang paling tokcer di tanah kelahiranku. Di bumi Indonesia ini."



"Untuk apa kau gunakan gelar itu?" Malaikat pun mulai marah
dengan kesombongan manusia itu. Terlihat kemarahan dan kemurkaan
di raut wajahnya. Pecut di tangannya sudah siap melayang,
menghantam tubuh manusia itu.



"Gelar itu kugunakan agar semua orang tahu bahwasanya aku sudah
dari Mekkah. Sudah empat kali aku dari sana. Wajarlah kalau
demikian."



"Dan kau marah jika orang tak menyebut gelarmu ketika
memanggilmu?"



"Ya, aku marah. Karena aku telah banyak berkorban demi gelar
itu!"



"Dasar manusia sombong. Manusia yang tak ikhlas beribadah pada
TuhanNya. Terimalah pecut dan godam ini biar meleburkan
kesombonganmu."



Malaikat pun menyiksanya.
Keramahannya berubah menjadi kemarahan
Sosok mayat yang menyombongkan gelar hajinya pun merintih
Dia kesakitanTak mampu menahan siksa kubur yang datang melandanya



Haji.... itulah gelarmu
Kini yang tertinggal terukir di batu nisanmu
Sesalmu tak dapat kembali
Ke masa lalu



(Faisal Anwar; Banjarbaru, 22 September 2010)

Rabu, 17 Februari 2010

Berawal Dari Satu Titik

Aku
Kamu
Kalian
Mereka
Satu


Aku adalah kamu
Kamu adalah aku
Kamu dan aku satu
Satu dan tetap satu

Kalian semua adalah aku
Aku adalah kalian semua
Kalian dan aku tetap satu

Aku adalah mereka
Mereka adalah aku
Mereka adalah kamu
Mereka adalah kalian
Kita semua tetap satu

Semua bermula dari satu titik.

Faisal Anwar; Tanah Bumbu, 2 Februari 2010

Sajak Inur Seorang Gadis Pondok Pesantren kepada Pemujanya Seorang Preman Terminal

Aku masih ingat tentang pertemuan kita
Di sebuah senja disertai hujan rintik
Sembari menunggu angkot senja
Yang mengantar kita ke tujuan masing-masing


Aku masih ingat kita saling diam membisu
Saat mata kita saling menatap
Aku tahu, batin kita saling berkomunikasi
Aku tahu, matamu dan mataku menyimpan sesuatu
Aku tahu, hatimu dan hatimu saling menanya

Tak usah kau pikirkan perbedaan
Di saat senja masih bisa kita tatap
Di saat senja masih menyambut kita
Perbedaan hanya sebatas mimpi
Yang dikoar-koarkan oleh golongan tertentu
Agar tercipta jurang pemisah di dalamnya

Pertemuan itu tak kurang dari dua bulan lamanya
Aku masih mengingatnya
Saat kau tatap aku
Batinku berkata
Mulutku membisu akan kegaranganmu
Namun ku yakin di balik semua itu
Tersimpan pesonamu

Aku masih ingat akan kau sebut namaku
Jabatan tanganmu masih terasa hingga kini
Suaramu yang bergetar masih teringiang di telingaku
Dan aku tahu
Hatimu menyimpan sesuatu
Sesuatu yang tak pernah bisa kau ucapkan
Mungkin suatu hari nanti

Aku pun sudah tahu
Kau katakan sesuatu pada sang angin malam itu
Disaksikan oleh rembulan dan bintang
Berharap angin akan membawanya padaku
Mungkin itu mau mu

Aku tahu apa yang kau ingin katakan
Melalui sajak-sajakmu yang membuai

Mungkin suatu hari nanti
Kau akan katakan.

Faisal Anwar; Tanah Bumbu, 27 januari 2010

Sajak Pagi Buta

Ketika pagi memanggimu
Dia ucapkan salam
Ke mana kau saat itu?
Apakah masih sembunyi di balik selimutmu?


Ketika pagi memanggilmu
Dan ketika ia ucapkan salam
Di mana kau berada saat itu?


Ketika pagi memanggilmu
Mengapa tak kau basuh mukamu
Mengapa tak juga kau sucikan dirimu
Mengapa tak kau angkat tanganmu
Berserah padaNYa
Serahkan nhdup dan jiwamu padaNYa

Ketika pagi memanggilmu
Jiwamu telah sepi
Kesombonganmu telah datang lagi


Masih maukah esok harinya pagi kembali memanggilmu?


Faisal Anwar; Tanah Bumbu, 25 Januari 2010

Ketika Pagi Memanggilmu

Ketika pagi memanggilmu
Dia ucapkan salam
Akankah kau hiraukan?
Akankah kau sapa dia?


Ketika pagi memanggimu
Dia ucapkan salam
Ke mana kau saat itu?
Apakah masih sembunyi di balik selimutmu?

Ketika pagi memanggilmu
Dan ketika ia ucapkan salam
Di mana kau berada saat itu?


Ketika pagi memanggilmu
Mengapa tak kau basuh mukamu
Mengapa tak juga kau sucikan dirimu
Mengapa tak kau angkat tanganmu
Berserah padaNYa
Serahkan nhdup dan jiwamu padaNYa

Ketika pagi memanggilmu
Jiwamu telah sepi
Kesombonganmu telah datang lagi


Masih maukah esok harinya pagi kembali memanggilmu?


Faisal Anwar; Tanah Bumbu, 25 Januari 2010

Surat Buat Siswaku Yang Menghadapi Ujian Nasional

Siswa sekalian....
Genderang perang telah ditabuh
Akankan kau sudah siapkan
Segalanya ditentukan oleh dirimu
Nasibmu dipertaruhkan pada akhir nanti
Mampukah kau meraihnya?

Siswaku sekalian.....
Melalui surat ini aku hanya bisa berkata
Esok kau yang akan bertarung di sana
Dengan puluhan soal yang membingungkan
Akankah kau mampu menjawabnya?

Hari ini kalian masih bisa saja tersenyum
Hari ini kalian masih bisa saja berkoar-koar
Hari ini kalian masih bisa saja bersantai ria
Tapi apakah esok kau akan masih bisa tersenyum?
Apakah esok kau masih bisa bekoar-koar?
Apakah esok masih bisa bersantai ria?

Nasibmu ditentukan oleh dirmu sendiri
Jawabanmu adalah nasibmu
Jika salah melangkah, kau lah yang merugi
Jika kau lurus melangkah, kau meraih impian
Itu kalau kau mau

Terlihat akan kegigihan gurumu yang memberikan berbagai macam bekal
Untuk kau gunakan di kahir nanti
Tapi kadang kau menghilang
Kadang kau tidur
Kadang kau malas
Kadang kau mengeluh
Kadang kaupun cuek saja dengan semua yang diberkan olehnya

Kerjamu sampai hari ini hanya berpangku tangan
Try Out soal-soal hanya kau anggap sebagai bualan
Pengorbanan gurumu kau anggap bahan leluconan
Tanpa penyesalan, kau lewat begitu saja
Acuhkan semua ancaman
Acuhkan semua teguran
Acuhkan semua himbuan
Bagimu semua ini hanyalah sebatas permainan

Hidup adalah sebuah permainan
Ya sebuah permainan
Kita harus terus berjudi
Berjudi dengan mimpi dan nasib
Kita hanya bisa menjalani
Salah melangkah akan merugi

Akankah kau dengar nasihat ini?
Akankah kau sadar dengan nasihat ini?
Akankah kau akan insyaf dengan nasihat ini?
Aku tak tahu....

Hatimu saat ini masih sekeras batu
Akankah surat ini mampu lunakkan hatimu?
Aku pun tak tahu....

Menangisi kegagalan adalah percuma
Penyesalan di akhir cerita adalah siksa
Dia tak akan kembali lagi seperti semula
Dan waktu enggan untuk diputar kembali seperti sedia kala

Genderang perang telah terdengar
Samar-samar suaranya merasuk jiwa
Menunggu hari kita berjumpa dengannya
Menunggu waktu yang tak sabar menemui kita
Akankah kalian sudah siapkan segalanya?

Aku hanya bisa berkata
Aku hanya bisa memberikan yang bisa kuberikan
Aku tak mampu berikan jawaban
Hatiku telah terbelenggu oleh keteguhan
Takkan goyah kau ganti dengan rayuan
Takkan goyah kau ganti dengan imbalan
Takkan goyah kau ganti dengan tangisan

hari itu pasti akan tiba
Kalian tak dapat menghindarinya
Ini adalah sebuah pertarungan nasib
Dirimu sendiri yang beratarung
meraih mimpi dan nasibmu di atas arena

Sampai saat ini kau masih tertawa.....

Siswaku sekalian....
Semoga kau bisa meraba ....


Faisal Anwar; Tanah Bumbu, 25 Desember 2010

Akhirnya Kuucapkan Tiga Kata (Sajak Sang Preman Kepada Kekasihnya Seorang Gadis Pondok Pesantren)

Nur...aku masih tak kuasa
Mengucapkan tiga kata padamu
Menatapmu aku bisu
Menatapmu aku gugup

Senyum mu menawan ku
Senyum mu melumpuhkanku

Lewat sajak ini kuucapkan tiga kata itu
Hanya lewat sajak ini

Sajak yang kukirimkan melalui angin
Sajak yang disaksikan oleh rembulan dan sang malam

Nur... akhirnya kuucapkan tiga kata ini
Melalui angin yang berhembus membawanya
Melalui rembulan yang menatapnya
Melalui sang bintang yang memayunginya

Nur.. akhirnya kuucapkan tiga kata itu
bahwasanya ....
Aku Cinta Kamu

Tanah Bumbu, 25 januari 2010